DBN.com | Muara Enim, Sumatera Selatan
Di sebuah desa kecil bernama Tanjung Menang, Kecamatan Rambang Niru, berdiri sebuah posko sederhana dengan cat yang mulai pudar. Warga menamainya Rumah Merdeka. Dari sinilah suara-suara keresahan masyarakat mengalir, sekuat arus Sungai Niru yang kini tak lagi jernih.
Sungai yang dulunya menjadi tempat anak-anak mandi, ibu-ibu mencuci, dan petani mengambil air, kini berubah warna. Bau menyengat menusuk hidung, dan ikan-ikan yang dulu melimpah di sungai perlahan hilang.
Menurut pemantauan lapangan yang dilakukan Posko Rumah Merdeka, sumber perubahan itu berasal dari kanal buatan milik PT. Cakra Bumi Energi, perusahaan tambang batubara yang beroperasi di wilayah tersebut. Air dari kanal mengalir langsung ke Sungai Niru, membawa jejak aktivitas tambang yang merusak.
“Kerusakan Sungai Niru bukan hanya persoalan lingkungan, tetapi juga menyangkut keberlanjutan hidup masyarakat yang berada di Ring Satu IUP tambang batubara PT. Cakra Bumi Energi,” tegas Satria Darma Wijaya, Ketua Posko Rumah Merdeka.
Bagi warga, sungai bukan sekadar bentangan air. Ia adalah sumber kehidupan: untuk kebutuhan rumah tangga, mengairi sawah, hingga tempat mencari ikan. Ketika air tercemar, yang terancam bukan hanya kesehatan, melainkan juga masa depan generasi di desa.
Pada 20 Agustus 2025, Posko Rumah Merdeka melayangkan surat pengaduan resmi kepada Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Muara Enim. Mereka menuntut investigasi menyeluruh dan tindakan tegas. Jika langkah itu diabaikan, warga berencana meneruskan laporan ke tingkat provinsi, bahkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kedutaan Besar Republik Rakyat Cina—mengingat keterkaitan perusahaan tambang dengan investor asing.
Berkaitan dengan kerusakan tersebut warga mendesak untuk dilakukan:
1. Kajian ilmiah dan investigasi dampak lingkungan sesuai UU No. 32 Tahun 2009.
2. Tanggung jawab pemulihan lingkungan oleh PT. Cakra Bumi Energi.
3. Publikasi dokumen AMDAL agar bisa diakses masyarakat, khususnya warga Ring Satu.
Rumah Merdeka di Tanjung Menang kini lebih dari sekadar posko kecil. Ia menjadi simbol perlawanan rakyat desa terhadap ketidakadilan ekologis.
“Bagi kami, Sungai Niru bukan sekadar aliran air ia adalah denyut nadi desa. Menjaga sungai berarti menjaga hidup,” ujar seorang warga sambil menunjuk ke arah aliran sungai yang keruh.
Di tengah dentuman alat berat tambang dan kanal-kanal buatan yang terus menggerogoti bentang alam, suara masyarakat Tanjung Menang mengingatkan kita: lingkungan bukan warisan, melainkan titipan yang harus dijaga.(Ali Goik)