BeritaPalembangSosial-BudayaTNI/POLRI

Di Tengah Polemik Gedung Tujuh Lantai, Pangdam II/Sriwijaya Janjikan Buka Akses Depan Benteng Kuto Besak

26
×

Di Tengah Polemik Gedung Tujuh Lantai, Pangdam II/Sriwijaya Janjikan Buka Akses Depan Benteng Kuto Besak

Sebarkan artikel ini

Duta Berita Nusantara | palembang

Pangdam II/Sriwijaya Mayjen TNI Ujang Darwis, M.D.A kembali menggelar pertemuan lanjutan bersama Sultan Palembang Darussalam Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) IV Jayo Wikramo, zuriat Kesultanan Palembang Darussalam, Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Palembang dan Provinsi Sumatera Selatan, serta berbagai aliansi masyarakat penyelamat cagar budaya, Rabu (17/12/2025).

Pertemuan yang berlangsung di Aula Kesdam II/Sriwijaya, kawasan Benteng Kuto Besak (BKB), Palembang, itu digelar di tengah menguatnya penolakan publik terhadap rencana pembangunan gedung baru Rumah Sakit dr AK Gani setinggi tujuh lantai di zona inti BKB sebuah kawasan cagar budaya yang memiliki nilai sejarah penting bagi Palembang dan Indonesia.

Proyek rumah sakit yang direncanakan menggunakan dana Bantuan Keuangan Bersifat Khusus (BKBK) Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan sebesar Rp53 miliar pada 2026 tersebut dinilai berpotensi merusak keutuhan visual, historis, dan filosofis Benteng Kuto Besak sebagai benteng peninggalan Kesultanan Palembang Darussalam.

Dalam pertemuan tersebut, Pangdam II/Sriwijaya menjanjikan pembukaan akses bagian depan BKB untuk kepentingan pariwisata serta menyepakati pemeliharaan benteng secara bersama-sama dengan Pemerintah Kota Palembang. Namun, kesepakatan ini dinilai belum menyentuh persoalan utama, yakni keberadaan dan rencana pengembangan bangunan modern di dalam zona inti cagar budaya.

Sultan Palembang Darussalam SMB IV Jayo Wikramo mengapresiasi itikad baik Pangdam II/Sriwijaya membuka ruang dialog dan kerja sama lintas pihak. Meski demikian, ia menegaskan bahwa upaya membuka akses wisata tidak boleh mengaburkan persoalan mendasar yang mengancam kelestarian BKB.

“Kami menghargai niat baik membuka akses pariwisata. Namun, yang jauh lebih penting adalah memastikan Benteng Kuto Besak benar-benar terlindungi sebagai cagar budaya, bukan sekadar dibuka sebagian tetapi dirusak di bagian lainnya,” ujarnya.

Senada, Budayawan Palembang sekaligus Ketua Aliansi Penyelamat BKB, Vebri Al Lintani, menyatakan bahwa apa yang disebut sebagai revitalisasi hingga kini masih bersifat parsial dan simbolik.

“Revitalisasi komprehensif belum terjadi. Selama masih ada pembangunan gedung tujuh lantai di zona inti, maka BKB tetap berada dalam ancaman serius,” tegasnya.

Vebri menekankan bahwa pembukaan akses depan benteng tidak dapat dijadikan legitimasi atas pembangunan-pembangunan lain yang bertentangan dengan prinsip pelestarian cagar budaya.

Menurutnya, relokasi Rumah Sakit dr AK Gani, Kesdam II/Sriwijaya, dan fasilitas militer lainnya dari kawasan BKB merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan benteng secara utuh. Namun, kebijakan tersebut berada di tangan pemerintah pusat.

“Ini bukan persoalan teknis Pangdam, tetapi keputusan strategis negara. Diperlukan keberanian politik Presiden, Menteri Pertahanan, dan Kementerian Kebudayaan untuk mengambil langkah relokasi,” katanya.

Sementara itu, Wali Kota Palembang Ratu Dewa menyatakan Pemkot siap menyusun nota kesepahaman (MoU) dan perjanjian kerja sama (PKS) dengan Kodam II/Sriwijaya guna memanfaatkan bagian depan BKB sebagai ruang publik dan destinasi wisata. Meski demikian, Pemkot Palembang diakui masih terbatas perannya karena status aset BKB bukan milik pemerintah daerah.

Pangdam II/Sriwijaya Mayjen TNI Ujang Darwis menegaskan komitmennya untuk menjaga dan merawat Benteng Kuto Besak serta membuka ruang kolaborasi dengan pemerintah daerah dan masyarakat. Namun hingga kini, belum ada pernyataan tegas terkait penghentian atau peninjauan ulang proyek gedung tujuh lantai RS dr AK Gani di kawasan benteng.

Di tengah janji pembukaan akses wisata dan pemeliharaan bersama, pertanyaan publik tetap mengemuka apakah Benteng Kuto Besak benar-benar akan diselamatkan sebagai warisan sejarah, atau justru perlahan tergerus oleh kepentingan pembangunan modern di jantung cagar budaya?.