Palembang

Ketika Judul Menyalahi Fakta: Sorotan Etika Jurnalistik di Sumsel

4
×

Ketika Judul Menyalahi Fakta: Sorotan Etika Jurnalistik di Sumsel

Sebarkan artikel ini

Palembang — DBN.com

Dunia pers Sumatera Selatan tengah menghadapi ujian integritas. Sebuah pemberitaan di media online Sumsel9 memicu kritik tajam dari berbagai tokoh pers setelah dinilai menyalahi Kode Etik Jurnalistik. Judul berita yang menyebut “Diduga Oknum Kepala SMA Negeri 6 Palembang Terima 4 Siswa Tambahan” dianggap tidak sejalan dengan isi berita dan berpotensi mencemarkan nama baik.

Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Sumatera Selatan, Jhon Heri, menjadi salah satu yang angkat bicara. Ia menilai penggunaan kata “oknum” dalam judul tidak tepat dan menimbulkan kesan negatif yang tidak berdasar.

“Kepala SMA Negeri 6 Palembang hanya satu, dan beliau sudah melakukan klarifikasi. Judul seperti itu tidak mencerminkan isi berita yang sebenarnya,” tegas Jhon.

Lebih dari sekadar kesalahan redaksional, Jhon menekankan pentingnya media membuka ruang hak jawab bagi pihak yang diberitakan. Ia mengingatkan bahwa ketidaksesuaian antara judul dan isi bisa berujung pada konsekuensi hukum.

Sorotan juga datang dari mantan Ketua PWI Sumsel dua periode sekaligus Ketua Dewan Kehormatan PWI Sumsel, Ocktap Priady. Ia menyebut bahwa wartawan Sumsel9, Alvin, telah melakukan konfirmasi bahwa surat yang dianggap palsu bukan ditandatangani oleh kepala sekolah. Namun, judul tetap menyudutkan.

“Judulnya tidak sesuai dengan fakta. Ini pelanggaran serius terhadap etika jurnalistik,” ujar Ocktap.

Tak berhenti di situ, Ocktap mengungkap dugaan adanya kesepakatan antara Alvin dan pihak sekolah terkait pemberitaan. Ia menyebut adanya tawaran advertorial agar berita tidak ditayangkan.

“Jika benar, ini bentuk penyalahgunaan profesi. Wartawan harus menjaga marwah jurnalistik, bukan menjadikannya alat tawar-menawar,” tegasnya.

Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Sumatera Selatan, Ardi Fitriamsyah, turut menyampaikan keprihatinannya. Ia menilai isi berita sangat berbeda dengan judulnya dan mempertanyakan kompetensi redaksi media tersebut.

“Kalau bukan produk jurnalistik yang sah, bisa saja masuk ranah pidana. Pihak berwajib harus bertindak tegas,” tandas Ardi.

Kontroversi ini membuka ruang refleksi bagi seluruh insan pers di Sumatera Selatan. Di tengah derasnya arus informasi digital, akurasi dan etika bukan sekadar formalitas, melainkan fondasi kepercayaan publik. Kasus ini menjadi pengingat bahwa setiap kata dalam berita membawa tanggung jawab besar—bukan hanya kepada narasumber, tetapi juga kepada masyarakat luas.(Ali Goik)