Makkah,- Duta Berita Nusantara.com
Dulu, wukuf di Arafah harus dijalani oleh jemaah haji dengan harap-harap cemas, apalagi jika haji di musim panas. Dentum meriam biasanya berbunyi, mengiringi tergelincirnya matahari, penanda wukuf dimulai.
Pada musim panas Mei tahun 1927, kemah-kemah di Arafah terpasang seadanya, tanpa pendingin ruangan tentunya, “sesaknya manusia ditambah dengan panasnya musim, menyebabkan sehari di Arafah itu tiada terderita rasanya. Angin Samun yang melambai dari puncak bukit-bukit batu yang gundul itu menyebabkan muka kita laksana dilembai api nyala”,begitu Hamka bercerita (HCL, Naik Haji di Masa Silam, II: 688).
Tak ayal, sebagian jemaah meregang nyawa menemui ajal. Tentu keadaan saat ini sudah berlainan suasana. Haji difasilitasi oleh Kementerian Agama. Tenda-tenda Arafah tertata rapi, dilengkapi pendingin ruangan, karpet, dan sarana kamar mandi. Layanan makanan di Arafah pun dipasok sedemikian rupa. Pelayanan dan pelindungan jemaah haji menjadi perhatian yang utama.
Arafah adalah puncak haji, seberapa lama pun seseorang tinggal di Mekkah, tidak akan disebut telah berhaji jika pada siang hari tanggal 9 Dzulhijjah tidak merasakan sengatan matahari Padang Arafah. Karenanya, seberat apapun medannya, separah apapun kondisi kesehatan, meski sesaat, jemaah haji harus memaksakan diri untuk berada di sana.
Hamka melanjutkan cerita bahwa keadaan Arafah yang panas membara tidak membuat jemaah kehilangan asa. Justru Arafah berubah menjadi lautan doa, “…labbaik, allahumma labbaik, la syarika laka, innal hamda wal mulka laka…gemuruh diucapkan oleh beratus hamba Allah, sejak dari si papa sampai kepada si kaya, sejak dari Raja sampai kepada Badui tukang unta, dari segala bangsa, dari segala penjuru dunia, dengan pakaian yang sama, pada hari yang mulia…” (h. 689).
Kini, panas matahari Arafah tidak semakin mereda. Di jam wukuf, suhu berada di kisaran 45 – 50 derajat celcius. Arafah juga tetap gersang, minim tumbuh-tumbuhan, melainkan pasir belaka. Meski begitu, semua Jemaah merindukan Arafah. Uang puluhan juta rela dikeluarkan, demi bisa mengarungi lautan, atau kebanyakan sekarang terbang menembus awan.
Jemaah haji tahun 1446 H/2025 M ini perlu tetap waspada. Kementerian Haji Saudi berencana menyampaikan seruan agar jemaah haji Indonesia tidak keluar dari tenda di Arafah pada siang hingga sore pukul 16.00 waktu setempat. Jemaah haji tentu harus mematuhi, demi keselamatan diri.
Bagi sebagian besar Jemaah, kesempatan berhaji hanya sekali, dan belum tentu bisa datang kembali. Wukuf di Arafah harus sebesar-besarnya dimanfaatkan untuk berzikir, bertasbih, bertafakkur, dan melangitkan doa.
Lupakan sejenak urusan duniawi, jabatan atau pangkat. Di Arafah ini, “tak ada kasta, tak ada mahkota, tak ada perjuangan kelas, tak ada buruh, tak ada majikan. Bergema suara meembus angkasa, melampaui bulan, bintang, dan matahari, melampaui langit ketujuh tingkatnya” (h. 689).
Semoga para jemaah haji Indonesia merasa aman, nyaman, dan mabrur sepanjang umur.
اللهم اجعله حجا مبرورا وسعيا مشكورا وذنبا مغفورا وعملا مقبولا وتجارة لن تبور
Oman Fathurahman (Ketua Mustasyar Diniy PPIH Arab Saudi 2025, Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah Depok, Pengampu Ngaji Manuskrip Nusantara)
Sumber:
Kemenag RI