BeritaNasional

Strategi Prabowo Memerdekakan Palestina

14
×

Strategi Prabowo Memerdekakan Palestina

Sebarkan artikel ini

Strategi Prabowo Memerdekakan Palestina

Oleh: Arvindo Noviar ( Ketua umum Partai Rakyat)

Dunia telah terlalu lama mengunyah kata “damai” sambil meneguk darah dari tanah yang dijajah. Palestina, negeri kecil yang tubuhnya dipetakan ulang oleh imperium, hari ini menjadi luka terbuka di jantung umat manusia. Sementara langit Gaza penuh oleh arwah anak-anak yang tak sempat dewasa, konferensi-konferensi internasional sibuk menjual perdamaian dalam kemasan keuntungan. Tapi dari Timur dunia, dari negeri yang pernah dijajah dan tahu betul rasanya kehilangan tanah dan nama, muncul suara yang tidak keras tapi mengakar—Indonesia. Dan dalam kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, suara itu menjelma strategi.

Bukan strategi diam. Tapi langkah terencana, sadar, dan berani. Di hadapan pertanyaan besar dunia: “Kapan Indonesia akan membuka hubungan dengan Israel?”, Presiden Prabowo menjawab dengan syarat yang tidak bisa ditawar: “Setelah Palestina merdeka.” Ini bukan retorika. Ini adalah batas moral yang ditarik dengan terang. Sebuah pagar nilai yang melindungi kehormatan bangsa dan memperkuat posisi Indonesia dalam geopolitik global.

Langkah ini tidak lahir dari kekosongan. Dunia hari ini sedang bergerak cepat, tidak hanya oleh perang senjata, tetapi juga oleh perang posisi, opini, dan dominasi ekonomi. Amerika Serikat kehilangan cengkeraman, Cina membangun pengaruh senyap melalui jalur sutra baru, dan Rusia menggoyang ulang peta kekuasaan lewat Ukraina. Di tengah ini, Timur Tengah—tanah tiga agama—terus berkecamuk dalam percaturan antara martabat dan kompromi. Banyak negara Muslim mulai menjalin hubungan dengan Israel demi stabilitas semu dan kalkulasi ekonomi. Namun Indonesia, melalui Prabowo, memilih tidak tenggelam dalam arus tersebut.

Ia bukan menutup pintu diplomasi—ia menunda pembukaan dengan syarat yang agung: kemerdekaan Palestina. Karena Prabowo paham, hubungan internasional bukan sekadar transaksi, tapi pernyataan. Dan Indonesia, yang konstitusinya menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, tidak bisa mengkhianati sejarah dan dirinya sendiri hanya demi kecepatan investasi atau pujian dari blok besar dunia.

Strategi ini bukan pasif. Ini adalah cara aktif untuk menjaga posisi tawar Palestina di mata dunia. Prabowo tahu, selama Indonesia belum membuka hubungan, ada tekanan moral yang tetap hidup. Dunia tidak bisa mengklaim bahwa isu Palestina sudah selesai jika negara sebesar Indonesia belum menyerah. Dengan itu, Prabowo menjadikan Indonesia semacam jangkar perlawanan yang sah, kredibel, dan tidak mudah diabaikan.

Lebih dari itu, ia sedang membangun pijakan agar ketika Palestina merdeka—dan hari itu akan datang—Indonesia bisa langsung hadir sebagai mitra sejajar. Bukan sebagai simpatisan belaka, tetapi sebagai negara besar yang menolak tunduk pada peta ketidakadilan. Dan ketika Palestina sudah menjadi negara merdeka yang berdaulat, dengan kursi di forum internasional, dengan bendera yang tidak lagi robek di antara puing, saat itulah hubungan dengan Israel bisa dibuka. Bukan sebagai bentuk pengkhianatan, tapi sebagai strategi panjang yang berhasil: Palestina yang telah berdiri tegak sebagai bangsa.

Dalam strategi ini pula, Prabowo menjaga agar Indonesia tetap menjadi suara penting di dunia Islam, sekaligus kekuatan nonblok yang dapat dipercaya. Ia tidak sedang memuaskan telinga massa, tapi sedang merancang peta jalan yang realistis, jangka panjang, dan menyelamatkan kehormatan. Inilah strategi yang tidak menjual heroisme, tapi menumbuhkan harapan yang kokoh. Seperti para petani yang menanam padi bukan untuk dimakan esok hari, tapi demi panen besar di musim mendatang.

Palestina bukan sekadar tempat. Ia adalah simbol dari apa yang salah dalam peradaban modern. Dan selama bangsa itu belum merdeka, maka dunia belum pantas menyebut dirinya maju. Indonesia, melalui Prabowo, memahami hal itu. Karena Indonesia sendiri pernah direbut dan dijajah. Maka dari tanah yang pernah dirampas, lahir pemimpin yang tahu bagaimana memperjuangkan yang dirampas.

Strategi Prabowo bukan suara sunyi, tapi pukulan pelan yang bergema lama. Ia bukan diplomasi basa-basi, tapi arah kebijakan yang membawa nyawa: bahwa kemerdekaan bukan hadiah, melainkan harga diri. Dan harga diri tidak pernah bisa dibeli dengan hubungan dagang atau pengakuan sesaat.

Ketika fajar kemerdekaan Palestina datang, dunia akan mencatat siapa yang berdiri dan siapa yang berpaling. Dan Indonesia, dalam langkah tegas Prabowo, akan berdiri di barisan terdepan—bukan sebagai penonton sejarah, tapi sebagai bagian dari mereka yang menulisnya. (Marno/Dbn)