BeritaPalembangSosial-Budaya

Sultan Mahmud Badaruddin II: Harimau yang Tak Dapat Dijinakkan” Panggung Terakhir yang Membakar Semangat Palembang

35
×

Sultan Mahmud Badaruddin II: Harimau yang Tak Dapat Dijinakkan” Panggung Terakhir yang Membakar Semangat Palembang

Sebarkan artikel ini

Palembang | Duta Berita Nusantara.com

Graha Budaya Jakabaring, Palembang, kembali menjadi saksi dari sebuah peristiwa budaya yang menggugah hati dan membangkitkan kebanggaan lokal. Pada Selasa, 21 Oktober 2025, tirai terakhir teater “Sultan Mahmud Badaruddin II: Harimau yang Tak Dapat Dijinakkan” resmi diturunkan, menandai akhir dari rangkaian pementasan yang telah mencuri perhatian publik selama beberapa hari terakhir.

Sejak malam pertama, teater ini berhasil menyedot perhatian ratusan penonton dari berbagai kalangan—pelajar, seniman, budayawan, hingga masyarakat umum yang datang dengan rasa ingin tahu dan bangga akan sejarah kotanya. Antusiasme publik tak juga surut meski sudah memasuki hari terakhir. Kapasitas gedung yang terbatas bahkan nyaris tak mampu menampung gelombang penonton yang terus berdatangan, sebagian rela berdiri hanya demi menyaksikan kisah sang pahlawan nasional yang legendaris itu dihidupkan kembali lewat seni panggung.

Pementasan yang diadaptasi dari kisah perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin II—pemimpin yang dikenal gagah berani melawan kolonialisme—menjadi simbol kebangkitan seni teater di Palembang. Lakon ini tidak sekadar menampilkan narasi sejarah, tetapi juga menggugah kesadaran kolektif akan nilai-nilai keberanian, harga diri, dan identitas budaya yang diwariskan sang Sultan.

Atmosfer di dalam gedung terasa magis. Setiap dialog, iringan musik, dan gerak tubuh para aktor berpadu membentuk alur dramatik yang memikat. Sorot lampu panggung menambah intensitas emosi, terutama saat adegan perlawanan dan pengkhianatan yang menggetarkan. Penonton berkali-kali memberi tepuk tangan panjang—tanda penghargaan terhadap kerja keras para aktor, sutradara, dan tim produksi yang berhasil menyulap sejarah menjadi pengalaman teater yang hidup dan menggugah.

Basuni, Kepala Bidang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus (PKLK) Dinas Pendidikan Sumatera Selatan, menyebut pementasan ini sebagai contoh nyata bagaimana seni bisa menjadi media pendidikan karakter dan sejarah.

“Seni pertunjukan seperti ini tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik. Anak-anak dan generasi muda perlu belajar sejarah tidak hanya dari buku, tapi dari panggung yang menghidupkan tokoh-tokoh besar seperti Sultan Mahmud Badaruddin II,” ujarnya.

Sementara itu, pemerhati kebudayaan Sumatera Selatan, Gadang Hartawan, menilai teater ini sebagai momentum penting kebangkitan kesadaran budaya lokal di tengah derasnya arus modernisasi.

“Kisah Sultan Mahmud Badaruddin II adalah cermin identitas Palembang yang gagah dan bermartabat. Ketika teater mengangkat tokoh ini dengan kemasan yang kuat, itu bukan sekadar nostalgia—tetapi perlawanan kultural terhadap lupa,” kata Gadang.

Lebih dari sekadar hiburan, “Sultan Mahmud Badaruddin II: Harimau yang Tak Dapat Dijinakkan” telah menjadi ruang perenungan tentang arti perjuangan dan harga sebuah martabat. Dalam bayangan sorot panggung yang meredup di akhir pertunjukan, tersisa semangat yang menyala: bahwa Palembang memiliki warisan yang tak hanya layak dikenang, tetapi juga terus dihidupkan melalui karya seni.

Pementasan terakhir itu bukanlah penutup, melainkan awal dari kebangkitan baru seni pertunjukan di Negeri Palembang Darussalam tempat di mana sejarah, kebudayaan, dan semangat rakyatnya bersatu di atas satu panggung.