BALIEntertainmentLifestyleSosial-Budaya

Tajen Sabung Ayam di Bali: Warisan Budaya Yang Terlupakan Atau Praktik Ilegal ,Keadilan Sosialnya Mana?

3
×

Tajen Sabung Ayam di Bali: Warisan Budaya Yang Terlupakan Atau Praktik Ilegal ,Keadilan Sosialnya Mana?

Sebarkan artikel ini

Denpasar, Bali 20/06/2025 – Duta Berita Nusantara.com

Tajen sabung ayam, sebuah praktik tradisional masyarakat Bali yang telah mengakar sejak ratusan tahun lalu, kini kembali menuai polemik tajam. Di tengah derasnya arus penegakan hukum dan perlindungan hewan, tajen terombang-ambing antara statusnya sebagai kearifan lokal sakral atau justru praktik perjudian terselubung.

Dalam wawancara khusus dengan Netti Herawati, SE,MBA salah satu tokoh perempuan yang aktif dalam pelestarian budaya Bali, ditegaskan bahwa tajen sabung ayam masih diakui secara resmi oleh Peraturan Daerah Provinsi Bali sebagai bagian tak terpisahkan dari upacara keagamaan Hindu. “Tajen adalah bagian dari prosesi adat, bukan sekadar tontonan atau hiburan. Ia punya makna spiritual,” ujarnya.

Namun fakta di lapangan menunjukkan situasi yang jauh lebih kompleks. Pada 20 Juni 2025, tim redaksi mendapati bahwa aparat kepolisian masih kerap melakukan razia terhadap tajen liar—yakni sabung ayam yang diselenggarakan di luar kerangka upacara adat. Kegiatan ini dianggap telah bergeser menjadi arena perjudian, yang tak jarang berujung pada konflik, penipuan, hingga tindakan kriminal lain.

Sejumlah tokoh adat di Gianyar dan Karangasem membela keberadaan tajen sebagai pilar budaya. “Ini bukan soal taruhan, tapi tentang pengorbanan dalam yadnya,” tegas seorang bendesa adat. Sementara itu, para aktivis perlindungan hewan menyuarakan hal berbeda. Mereka mengecam kekerasan yang dialami ayam aduan dan menyebut praktik ini sudah tak relevan di era modern.

Dari sisi hukum, UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian secara tegas melarang segala bentuk perjudian, termasuk sabung ayam, kecuali jika jelas berada dalam kerangka budaya atau keagamaan yang diakui. Di sinilah polemik mencuat: siapa yang menentukan batas antara “budaya” dan “perjudian”?

Menurut pakar hukum pidana dari Universitas Udayana, Bali membutuhkan regulasi yang lebih rinci. “Tanpa batas hukum yang jelas, aparat akan terus bingung membedakan tajen adat dan tajen liar. Ini celah besar untuk praktik pungli dan kriminalitas terselubung,” jelasnya.

Saat ini, publik Bali menanti langkah nyata dari Pemerintah Provinsi Bali, Majelis Desa Adat (MDA), dan aparat penegak hukum untuk merumuskan pedoman hukum dan etika tajen secara transparan. Tujuannya tak lain adalah menjaga warisan budaya tanpa mengorbankan keadilan, moralitas, dan keselamatan sosial.

Tajen kini berada di persimpangan: apakah tetap lestari sebagai simbol adat, atau justru akan tergilas oleh hukum dan zaman?.(Marno)

Editor: Red/Dbn