BALINasional

Makan Bergizi Gratis sebagai Fondasi Negara

13
×

Makan Bergizi Gratis sebagai Fondasi Negara

Sebarkan artikel ini

Makan Bergizi Gratis sebagai Fondasi Negara

Oleh Arvindo Noviar

Bali | DBN.com

Setiap negara yang ingin bertahan di abad ini memerlukan fondasi yang konkret. Salah satunya adalah kecukupan gizi. Tanpa tubuh yang sehat dan otak yang berkembang baik, tidak ada kapasitas manusia yang bisa diandalkan untuk menjalankan sistem ekonomi, teknologi, dan pendidikan. Namun di Indonesia, urusan gizi masih diperlakukan sebagai tanggung jawab rumah tangga, bukan kebijakan negara. Ibu hamil yang kekurangan zat besi dan protein tidak masuk dalam prioritas belanja fiskal. Anak-anak yang datang ke sekolah dalam kondisi lapar tidak dianggap sebagai indikator kegagalan struktural. Ketimpangan asupan gizi terus berlangsung, tetapi tidak pernah menjadi ukuran utama dalam evaluasi pembangunan nasional.

Negara-negara lain telah menjadikan gizi sebagai kebijakan publik yang serius. Vietnam menurunkan angka stunting ke 19 persen dengan program intervensi gizi terpadu. Korea Selatan menyelesaikan masalah kekurangan gizi sejak 1980-an dan menjadikannya bagian dari sistem pendidikan. Tiongkok mengintegrasikan makan siang bergizi dengan pencapaian akademik, sementara Finlandia memastikan seluruh siswa, tanpa memandang status ekonomi, menerima makan siang bergizi setiap hari. Semua kebijakan itu lahir dari kesadaran bahwa pendidikan dimulai dari tubuh yang cukup makan.

Sementara itu di Indonesia, ketimpangan gizi telah menjadi bagian dari struktur sosial yang dibiarkan berlangsung. Di perkotaan, sarapan digantikan mi instan dan teh manis. Di desa, ibu hamil bertahan dengan nasi dan sayur rebus tanpa protein hewani. Di ruang kelas, banyak anak tertidur karena tubuh mereka lemah, bukan karena guru tidak menarik. Data resmi menunjukkan 21,6 persen balita mengalami stunting, sementara anemia pada ibu hamil mencapai 48,9 persen. Di balik angka itu tersembunyi konsekuensi yang tidak bisa dipulihkan. Gizi yang buruk pada masa kehamilan dan usia dini berdampak pada struktur otak, daya tahan tubuh, dan kapasitas belajar. Ini bukan sekadar persoalan medis, melainkan ancaman terhadap masa depan kolektif.

Kualitas sumber daya manusia menjadi batas atas dari seluruh ambisi negara. Bonus demografi kehilangan makna jika generasi muda tumbuh tanpa asupan gizi yang layak. Transformasi digital tidak mungkin berhasil jika peserta didik mengalami gangguan kognitif. Hilirisasi industri tidak akan menghasilkan nilai tambah jika tenaga kerja tidak sanggup menyerap teknologi. Transisi energi memerlukan pemikir, peneliti, dan teknokrat, bukan sekadar operator. Semua itu mensyaratkan tubuh yang kuat dan pikiran yang jernih. Tidak ada kebijakan besar yang dapat dijalankan oleh generasi yang tumbuh dalam kekurangan.

Dalam kerangka inilah kebijakan Makan Bergizi Gratis perlu dibaca. Ia bukan sekadar program bantuan sosial, melainkan koreksi terhadap arah pembangunan yang terlalu lama meminggirkan tubuh rakyat. Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, negara mulai menata ulang prioritas dengan menjadikan makan bergizi sebagai bagian dari strategi pembangunan nasional. Negara tidak hanya memberikan informasi gizi, tetapi turun tangan secara langsung melalui penyediaan makanan bergizi di sekolah dan komunitas, dengan skema yang terukur dan berkelanjutan.

Kebijakan ini menuntut kolaborasi lintas sektor. Kementerian pertanian, pendidikan, kesehatan, dan perindustrian harus bekerja dalam satu sistem. Petani lokal harus menjadi pemasok utama bahan pangan. Dapur komunitas dikelola oleh tenaga kerja perempuan dari desa setempat. Sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi ruang pemulihan bagi anak-anak yang sebelumnya tidak mendapatkan asupan cukup. Dalam satu piring makan, negara menyatukan kembali kebijakan gizi, pemberdayaan ekonomi lokal, dan pendidikan yang bermakna.

Namun seperti semua kebijakan publik, risiko tetap ada. Beberapa pelaksanaan program tercatat menyimpang. Mark-up, pengadaan fiktif, dan kejadian keracunan menunjukkan adanya celah dalam sistem pengawasan. Tetapi kelemahan pelaksanaan tidak boleh menjadi alasan untuk menarik diri. Justru pada skala besar seperti inilah keberanian diuji. Pengawasan tidak cukup dilakukan oleh lembaga formal. Ia harus menjadi kesadaran bersama yang dijalankan oleh guru, orang tua, tenaga kesehatan, dan masyarakat lokal. Transparansi data, pelibatan komunitas, dan teknologi pelacakan menjadi instrumen dasar untuk menjaga integritas program ini.

Secara teknis, kebutuhan gizi anak usia sekolah dapat dihitung secara pasti. Mereka membutuhkan setidaknya tiga puluh gram protein dan zat besi harian. Mikronutrien seperti vitamin A, D, dan asam lemak esensial menunjang fungsi otak dan kekebalan tubuh. Dalam kerangka ekonomi, investasi pada gizi anak menghasilkan pengembalian yang tinggi dalam bentuk produktivitas dan pengurangan biaya kesehatan. Dalam aspek sosial, makan bersama menghapus sekat berdasarkan status ekonomi. Tidak ada lagi bekal mewah atau bekal seadanya. Yang ada adalah kebersamaan yang membentuk rasa setara dan nilai-nilai kolektif.

Negara yang gagal memberi makan anak-anaknya kehilangan hak moral untuk bicara tentang kemajuan. Pertumbuhan ekonomi tidak bisa dijadikan pembenaran jika dibangun di atas generasi yang rapuh. Pabrik dan teknologi tidak cukup menjadi simbol kemajuan jika dijalankan oleh manusia yang tidak pernah mengalami masa tumbuh kembang yang sehat. Maka penyediaan makan bergizi bukan sekadar tanggung jawab sosial, tetapi instrumen utama untuk menjaga kesinambungan sejarah dan daya saing bangsa.

Kebijakan ini hadir di tengah birokrasi yang selama ini cenderung menghindari risiko. Ia menuntut ketegasan, keberanian politik, dan prioritas yang berbeda. Presiden Prabowo memulainya dengan pendekatan yang praktis. Ia memilih menyentuh dapur rakyat lebih dulu daripada berbicara tentang pertumbuhan makro. Ia menyusun ulang peta pembangunan dari kebutuhan dasar, bukan dari agenda investor. Ini adalah penataan ulang prioritas yang substantif, bukan kosmetik.

Namun tantangan utamanya bukan hanya pelaksanaan teknis. Yang paling mendasar adalah perubahan paradigma. Kita sudah terlalu lama menganggap pembangunan cukup diwakili oleh jalan raya dan bangunan fisik. Padahal, kekuatan suatu bangsa dimulai dari kualitas tubuh dan pikiran manusianya. Tanpa keberanian untuk meninjau ulang cara pandang tersebut, kebijakan makan bergizi akan berhenti sebagai proyek anggaran, bukan perubahan sistemik.

Program ini juga harus menjangkau kawasan urban. Anak-anak di kota tidak selalu lebih sehat dari mereka yang di desa. Konsumsi makanan ultra-proses, pola makan instan, dan minimnya sayur dan buah menciptakan malnutrisi dalam bentuk yang lebih samar. Maka makan bergizi tidak bisa dibatasi sebagai program bantuan untuk masyarakat miskin. Ia adalah kebutuhan nasional yang berlaku lintas kelas sosial.

Makan bukan hanya soal asupan. Ia adalah peristiwa sosial yang membentuk nilai dan hubungan. Ketika anak-anak makan bersama setiap hari, mereka tidak hanya mengisi perut, tetapi membangun kebiasaan hidup bersama. Dari dapur komunitas dan meja makan sekolah, tumbuh budaya yang menghargai kebersamaan dan saling dukung. Dalam jangka panjang, ini membentuk masyarakat yang lebih sehat secara sosial, bukan hanya secara fisik.

Dari sisi lingkungan, kebijakan ini dapat mendukung agenda keberlanjutan. Ketika negara menyerap hasil panen lokal, rantai distribusi menjadi pendek dan emisi karbon menurun. Dapur komunitas yang minim limbah mendorong kesadaran ekologis sejak dini. Maka makan bergizi tidak bertentangan dengan transisi hijau, justru mempercepatnya dengan cara yang konkret dan membumi.

Akhirnya, martabat sebuah bangsa tercermin dari cara ia memperlakukan anak-anaknya. Negara yang serius memberi makan rakyatnya sedang membangun fondasi yang kokoh. Negara yang membiarkan generasinya tumbuh dalam kelaparan sedang menunda kehancuran. Maka ketika anak-anak duduk makan bersama di ruang kelas dengan makanan yang bergizi dan layak, kita sedang menyaksikan perubahan yang paling mendasar: negara yang tumbuh dari kepedulian, dari kesadaran akan yang paling pokok, dan dari keberanian untuk membenahi hal-hal yang selama ini dianggap remeh.

Di situlah letak fondasi sebuah republik. Bukan pada bangunan tinggi atau jargon kemajuan, tetapi pada tubuh-tubuh muda yang diberi kesempatan untuk tumbuh utuh. Dari satu piring nasi dan sebutir telur rebus setiap hari, kita sedang menulis ulang arah pembangunan bangsa ini. Sebab bangsa yang memilih memberi makan lebih dulu, sedang menegakkan keadilan dari titik yang paling manusiawi.(Marno)